stia aan yogyakarta

Mengatasi Masalah Sampah di Kota Yogyakarta melalui Collaborative Governance dan Perubahan Perilaku Masyarakat

Kota Yogyakarta, sebagai salah satu kota tujuan wisata dan pendidikan di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan menyebabkan volume sampah yang terus meningkat setiap tahunnya, dan diperparah dengan ditutupnya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Piyungan 1 Mei 2024. Sistem pengelolaan sampah yang ada saat ini belum mampu mengatasi masalah ini secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru yang lebih inklusif dan partisipatif untuk mengelola sampah di Kota Yogyakarta.

Mengatasi Masalah Sampah dengan Pendekatan Collaborative Governance

Collaborative governance adalah sebuah kerangka kerja di mana berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan warga, bekerja bersama dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Mengartikan collaborative governance merupakan suatu cara tata kelola pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan di luar pemerintahan atau negara, berorientasi pada konsensus dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik serta program-program publik. Pendekatan ini memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan pemanfaatan sumber daya yang lebih efektif untuk mengatasi masalah sampah. Model tata kelola kolaboratif mengharuskan seluruh pemangku kepentingan terlibat dalam dialog, dimana para pemangku kepentingan ini mewakili diri mereka sendiri dalam mengungkapkan kepentingannya . Tata kelola kolaboratif ini menekankan pada deliberatif dalam membuat sebuah kebijakan atau sebuah program. Ansell dan Gash lebih lanjut mengemukakan bahwa Collaborative Governance merupakan serangkaian pengaturan di mana satu atau lebih lembaga publik yang melibatkan stakeholder non-state di dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat formal, yang berorientasi konsensus, dan deliberatif yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau mengatur program publik atau asset (Ansell C., Gash A, 2008). Collaborative governance sebagai bentuk new public governance mempunyai nilai dasar. Nilai dasar itulah yang menjadi karektiristiknya sekaligus muatan pokoknya. Dengan kata lain, nilai dasar itulah yang menjadi titik tekannya. Ada penekanan yang penting dipahami untuk memudahkan dalam menganalisis suatu fenomena sekaligus membuat sebuah teori baru tentang administrasi dan kebijakan publik (Nasrulhaq, 2020). Banyak penelitian menunjukkan bahwa collaborative governance dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi suatu program dan konsep ini bisa diterapkan pada pengelolaan sampah melalui peningkatan koordinasi, partisipasi, dan transparansi.

Siapa Saja yang Terlibat?

  1. Pemerintah Daerah
    – Bertanggung jawab atas regulasi dan kebijakan pengelolaan sampah.
    – Menyediakan infrastruktur dan fasilitas pengelolaan sampah.
  2. Sektor Swasta
    – Berperan dalam investasi teknologi dan fasilitas pengelolaan sampah.
    – Mendukung program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terkait pengelolaan sampah.
  3. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
    – Membantu dalam edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat.
    – Memfasilitasi partisipasi warga dalam program pengelolaan sampah.
  4. Akademisi dan Peneliti
    – Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi solusi inovatif dalam pengelolaan sampah.
    – Menyediakan data dan analisis untuk mendukung pembuatan kebijakan.
  5. Komunitas dan Warga
    – Berperan aktif dalam memilah dan mengelola sampah rumah tangga.
    – Berpartisipasi dalam program 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Rekomendasi Kebijakan

  1. Pembentukan Forum Kolaboratif
    Deskripsi: Membentuk forum kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk merumuskan strategi pengelolaan sampah.
    Manfaat:
    – Meningkatkan koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan.
    – Memastikan keberlanjutan program pengelolaan sampah melalui partisipasi semua pihak.

    Contoh: Forum ini bisa berbentuk komite pengelolaan sampah kota yang bertemu secara berkala untuk membahas dan mengevaluasi strategi pengelolaan sampah.
  2. Edukasi dan Sosialisasi 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
    Deskripsi: Melaksanakan kampanye edukasi secara terus-menerus mengenai pentingnya penerapan konsep 3R dalam kehidupan sehari-hari.
    Manfaat:
    – Mengubah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah.
    – Mengurangi volume sampah yang dibuang dan meningkatkan kesadaran lingkungan.

    Contoh: Program edukasi di sekolah-sekolah, kampanye di media sosial, dan pelatihan pengelolaan sampah untuk komunitas.
  3. Pengembangan Infrastruktur dan Teknologi
    Deskripsi: Investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang lebih modern dan efisien, seperti fasilitas daur ulang dan pengolahan sampah organik.
    Manfaat:
    – Meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah.
    – Mengurangi dampak lingkungan negatif dari sampah.

    Contoh: Pembangunan pusat daur ulang di setiap kecamatan dan instalasi pengolahan limbah organik menjadi kompos.
  4. Insentif dan Disinsentif
    Deskripsi: Memberikan insentif kepada warga dan institusi bisnis yang aktif dalam mengurangi dan mendaur ulang sampah, serta mengenakan denda bagi yang melanggar peraturan pengelolaan sampah.
    Manfaat:
    – Mendorong partisipasi aktif masyarakat dan sektor swasta dalam pengelolaan sampah.
    – Menegakkan kepatuhan terhadap peraturan pengelolaan sampah.

    Contoh: Insentif berupa pengurangan pajak untuk perusahaan yang menerapkan praktik pengelolaan sampah yang baik dan denda bagi pelanggar aturan.
  5. Monitoring dan Evaluasi
    Deskripsi: Menerapkan sistem monitoring dan evaluasi untuk mengukur efektivitas program pengelolaan sampah dan melakukan perbaikan yang diperlukan.
    Manfaat:
    – Memastikan program berjalan sesuai dengan target.
    – Dapat disesuaikan berdasarkan hasil evaluasi.

    Contoh: Sistem pelaporan berbasis aplikasi yang memungkinkan warga melaporkan masalah pengelolaan sampah dan memperoleh feedback dari pemerintah.

Alasan Ilmiah

Collaborative governance memiliki dasar ilmiah yang kuat dalam literatur akademik. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan melalui partisipasi dan keterlibatan berbagai pihak. Studi kasus di berbagai kota di dunia menunjukkan bahwa collaborative governance dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sampah.

  1. Koordinasi yang Lebih Baik: Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, collaborative governance dapat meningkatkan koordinasi dalam pengelolaan sampah. Ini mengurangi duplikasi upaya dan memaksimalkan penggunaan sumber daya yang ada.
  2. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat: Pendekatan ini memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah. Ini penting karena pengelolaan sampah yang efektif membutuhkan perubahan perilaku di tingkat rumah tangga dan komunitas.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas: Collaborative governance meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sampah. Dengan melibatkan berbagai pihak, keputusan yang diambil lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pentingnya Perubahan Perilaku Masyarakat dengan Konsep 3R

Perubahan perilaku masyarakat adalah kunci dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) adalah pendekatan yang efektif untuk mengurangi volume sampah dan mengelola sampah dengan lebih baik.

  1. Reduce (Mengurangi): Mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dengan cara menghindari penggunaan produk sekali pakai dan memilih produk dengan kemasan yang lebih sedikit.
  2. Reuse (Menggunakan Kembali): Menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa digunakan untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang.
  3. Recycle (Mendaur Ulang): Mendaur ulang barang-barang yang sudah tidak bisa digunakan lagi menjadi produk baru yang berguna.

Strategi untuk Mendorong Perubahan Perilaku

  1. Edukasi Berkelanjutan: Kampanye edukasi yang terus-menerus di sekolah, komunitas, dan media sosial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya 3R.
  2. Fasilitasi Infrastruktur: Menyediakan fasilitas yang memadai untuk mendukung praktik 3R, seperti tempat daur ulang dan bank sampah di setiap lingkungan.
  3. Insentif Ekonomi: Memberikan insentif ekonomi bagi warga yang menerapkan praktik 3R, seperti pengurangan biaya layanan pengelolaan sampah atau penghargaan bagi komunitas yang berhasil mengurangi sampah.
  4. Regulasi dan Penegakan Hukum: Menerapkan regulasi yang mendukung praktik 3R dan menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan sampah.

Kesimpulan

Mengatasi masalah sampah di Kota Yogyakarta memerlukan pendekatan yang partisipatif dan terintegrasi. Melalui skema collaborative governance, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan perubahan perilaku masyarakat dengan konsep 3R, diharapkan dapat tercipta sistem pengelolaan sampah yang lebih efektif dan berkelanjutan. Pemerintah Kota Yogyakarta perlu segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mewujudkan kolaborasi yang kuat antar pemangku kepentingan serta meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Dengan implementasi yang baik, collaborative governance dan perubahan perilaku masyarakat dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi masalah sampah di Kota Yogyakarta, menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat untuk generasi mendatang.

Daris Yulianto, SIP. MPA., Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi “AAN”

Alumni Program Magister Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Universitas Gadjah Mada.

Referensi :

Ansell C., Gash A. (2008). Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research and Theory 18 (4), 543–571, https://doi.org/10.1093/jopart/mum032.

Booher, D. E., & Innes, J. E. (2002). Network power in collaborative planning. Journal of Planning Education and Research vol 21(3), 221–236, https://doi.org/10.1177/0739456X0202100301.

Nasrulhaq. (2020). Nilai Dasar Collaborative Governance Dalam Studi Kebijakan Publik. Kolaborasi : Jurnal Administrasi Publik V6(3) , 395-402, DOI: https://doi.org/10.26618/kjap.v6i3.2261 .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.