Dilema Kebijakan Relaksasi PSBB

Dilema Kebijakan Relaksasi PSBB

Pandemik Covid-19 atau dikenal dengan Virus Corona yang saat ini sedang menghantam berbagai sektor di Indonesia membuat segala keputusan yang dibuat oleh Pemerintah selalu menjadi perhatian publik. Pemerintah sebagai public servant sendiri mengalami dilema, mana yang menjadi prioritas antara kesehatan, pertumbuhan ekonomi, efektifitas pendidikan yang dilakukan secara daring, bahkan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di beberapa daerah Indonesia. Dilansir dalam https://nasional.okezone.com/, empat provinsi dengan jumlah PHK terbanyak sebagai dampak dari merebaknya virus Covid-19, antara lain: Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Barat dengan mayoritas sasarannya adalah pekerja kontrak. Indonesia saat ini sedang mengalami krisis global, bahkan negara sekaliber Amerika saja dibuat kalang kabut oleh Covid-19 ini.

Di tengah perjuangan melawan penyebaran Covid-19 di Indonesia yang semakin meningkat perhari kasusnya, Pemerintah justru akan menerapkan kebijakan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal ini tentu memberikan pro dan kontra setelah keluarnya wacana kebijakan tersebut karena sampai saat ini belum ada data pasti kapan puncak penularan Covid-19 akan terjadi. Bahkan saat ini mobilitas masyarakat masih tampak berlalu lalang dari zona merah ke daerah lainnya, baik jalur udara maupun darat, baik dengan syarat dan ketentuan berlaku maupun beberapa kasus yang lepas dari penjagaan polisi lalu lintas. Terlebih dengan momen lebaran tanggal 24 Mei nanti, bertambah dilema lagi ketika pekerja terkena PHK dan untuk bertahan hidup mau tidak mau pulang ke asalnya. Entah itu untuk mudik atau pulang kampung yang pada intinya juga beresiko menyebarkan virus Covid-19.

Kebijakan Relaksasi PSBB bagi kaca mata para pakar sudah terlihat jelas dengan indikasi transportasi umum dibuka. Dari awal yang sudah mantap untuk memblokir akses transportasi berbagai jalur sekarang mulai dibuka satu demi satu atas dasar lesunya perekonomian. Kita semua berharap bahwa kebijakan relaksasi PSBB ini tidak berjalan seperti pembukaan lockdown di China yang ternyata memasuki babak baru atau second wave dari penyebaran pandemi Covid-19.

Implikasi dari adanya kebijakan Relaksasi PSBB yaitu terbukanya kembali sektor-sektor pembangunan daerah. Misalkan saja, perusahaan kembali membuka aktivitasnya yang melibatkan ratusan tenaga kerja. Padahal masa inkubasi virus ini bisa sampai 14 hari, analoginya hari pertama karyawan tidak menunjukkan gejala tetapi sudah berpotensi menularkan virusnya ke tenaga kerja lainnya. Alih-alih mengatasi PHK justru menambah kasus baru sebagai pasien yang terkena virus Covid-19. Sektor lainnya, misalkan sektor pendidikan yang akan membuka kembali kegiatan Proses Belajar Mengajar (PBM) di sekolah. Beberapa orang tua dan siswanya pun dibuat cemas karena ancaman Covid-19 sebagaimana tayangan wawancara dalam channel Youtube Mata Najwa. Di sisi lain, sekolah juga ditantang untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif tetapi tetap mengikuti protokol kesehatan. Bisa saja, dalam satu ruangan hanya berisikan 10 – 12 siswa tergantung dari luas kelasnya. Sistem apa yang sebaiknya digunakan untuk penerapan PBM di sekolah, apakah kelas Pagi dan Siang seperti di Jakarta. Dengan demikian, perlu perencanaan yang matang, holistik, dan strategis dalam menerapkan kebijakan relaksasi PSBB. Dan bukan berakhir pada kondisi negara lain sudah selesai dengan Covid-19, Indonesia justru masih berjuang untuk memutuskan rantai penyebaran.

Berbicara kebijakan (policy) yang akan diterapkan oleh Pemerintah selalu mengundang perhatian publik. Selalu ada gap karena rasa kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut bisa berdampak luar biasa, bisa positif bisa berujung kesedihan. Seperti ungkapan dari Noam Chomsky bahwa “There’s tremendous gap between public opinion and public policy.” Berbagai media bisa disampaikan oleh citizen untuk memberikan sumbangsih masukan. Asas demokrasi, memperbolehkan masyarakat untuk berpartisipasi mengeluarkan sekedar uneg-uneg, pemikiran kritis, dan bahkan tak jarang pula lahirlah ide-ide solutif. Mengkritisi sebuah kebijakan perlu proses pembelajaran. Sebagai Warga Negara Indonesia kita perlu tahu bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan hingga diterapkan. Sampai saat ini, banyak sekali tempat menimba ilmu dan melatih pola pikir kritis kita terhadap kebijakan. Salah satu tempat dimana kita bisa belajar tentang public policy yaitu di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi “AAN” atau dikenal dengan nama STIA AAN Yogyakarta. Di beberapa mata kuliah, mahasiswa akan disodorkan sebuah kasus yang kemudian sebagai bahan diskusi kelas, bagaimana kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.